Sudah hampir tiga tahun semenjak kali pertama saya menginjakkan kaki
di Kota Samarinda. Sudah hampir setiap seluk beluk kota yang disebut
Kota Tepian ini saya jelajahi, beberapa pernah saya ceritakan dalam
media blog. Memang
Kota Tepian yang menjadi ibukota Provinsi Kalimantan Timur menyimpan
romantika memori bagi yang pernah berkunjung atau sekadar singgah di
dalamnya. Kota yang dibelah aliran Sungai Mahakam ini menyimpan
potensinya dalam berbagai bentuk.
Saya masih mengingatnya ketika sebuah jembatan sepanjang 400 meter menyambut saya memasuki Kota Samarinda. Jembatan yang saat ini telah berusia 24 tahun itu adalah Jembatan Mahakam. Jembatan tersebut menjadi ikon kebanggaan Kota Samarinda dan merupakan infrastruktur penting yang menjadi gerbang masuk Kota Samarinda dari Samarinda Seberang.
Dalam sejarahnya, Kota Samarinda dibangun oleh rombongan orang-orang
Bugis Wajo yang dipimpin oleh Lamohang Daeng Mangkona (bergelar Pua Ado
yang pertama) pada 1668. Rombongan tersebut berasal dari Kerajaan Gowa
yang tidak mau tunduk dan patuh terhadap isi Perjanjian Bongaja tanggal
18 November 1667 antara Kerajaan Gowa dengan Belanda. Rombongan tersebut
diterima baik oleh Sultan Kutai dan dengan perjanjian serta kesepakatan
mereka diberikan lokasi di sebuah dataran rendah di sekitar Muara
Sungai Karang Mumus. Konon daerah itulah yang menjadi asal muasal Kota
Samarinda, saat ini lokasinya berada di sekitar Samarinda Seberang.
Hujan gerimis masih menghiasi kota saat perlahan saya menyusuri jalan di Tepian Sungai Mahakam dan menemukan sebuah bangunan serupa masjid berukuran besar. Yup, masjid termegah kedua di Asia Tenggara setelah Masjid Istiqlal yang dinamakan Islamic Center Samarinda itu kini telah menjadi ikon baru Kota Samarinda. Jika ke Samarinda, mampirlah ke masjid ini, sekedar untuk menikmati kemegahan bangunan utama yang luasnya mencapai 4.500 meter persegi. Saya sendiri pernah menaiki salah satu dari 7 menara yang bermakna Asma Al-Husna yang mengelilingi masjid tersebut.
Mobil yang saya naiki kembali melaju memasuki kawasan Kota Samarinda
yang semakin padat. Mobil berbelok ke arah kiri menyusuri Jalan
Antasari. Berhenti di lampu merah kemudian berbelok kanan menyusuri
Jalan Juanda. Kawasan Jalan Juanda inilah yang menjadi persamaan Kota
Samarinda dengan Kota Metropolis lainnya. Jajaran jalan yang saat ini
mulai dipenuhi riuh rendah cafe-cafe dari yang kecil sampai yang besar
telah menunjukkan eksistensi menjadi life style di Kota Tepian ini
Dari sana kendaraan melaju sampai berhenti di persimpangan lampu merah, kemudian berbelok ke arah kanan. Lurus terus hingga bertemu persimpangan Mal Lembuswana, salah satu Mall yang pertama-tama berdiri di Kota Samarinda. Saat ini memang Kota Samarinda telah dikenal sebagai pusat perbelanjaan. Sedikitnya 5 bangunan mal berdiri di atas Kota Tepian ini.
Meski telah disesaki dengan pusat perbelanjaan modern, kota ini tetap tidak melupakan pasar-pasar tradisionalnya yang hingga sampai saat ini tak pernah sepi. Pasar Segiri masih setia melayani pelanggan yang membutuhkan sayur mayur dan bahan lauk pauk. Pasar Pagi juga masih memenuhi kebutuhan warga kota untuk mencari aneka kebutuhan tekstil dengan harga terjangkau. Satu lagi, masih ada Pasar Citra Niaga yang sampai saat ini masih menjual pernak-pernik oleh-oleh khas Samarinda, seperti Batik Kaltim atau ukiran khas dayak.
Berbelok ke arah kiri dari perempatan Mall Lembuswana menyusuri Jalan M. Yamin, disitulah awal pertama kali saya tinggal di Kota Tepian ini. Kawasan yang juga dekat dengan Universitas Mulawarman, sebuah universitas terbesar di Kalimantan Timur. Selain dikenal pusat belanja, Kota Samarinda juga dikenal sebagai pusat pendidikan di kawasan Kalimantan Timur. Selain Universitas Mulawarman sebagai kampus negeri, masih banyak kampus-kampus besar yang tersebar di sekitar Kota Samarinda.
Dari Jalan M. Yamin kita bisa terus menyusuri hingga bertemu Stadion Utama Sempaja. Dari sana berbeloklah ke arah kanan kemudian setelah lampu merah ambil jalan ke kiri ke arah menuju Bontang. Setengah jam menempuh perjalanan dari sana kita akan mendapati Kebun Raya Universitas Mulawarman sebagai pusat konservasi dan perkembangbiakan aneka flora. Di dalamnya kita dapat menemukan air terjun tanah merah.
Tak jauh dari sana, kita bisa berkunjung ke Desa Pampang. Sebuah desa budaya yang didalamnya merupakan perkampungan asli dari keturunan Dayak Kenyah. Di desa tersebut kita bisa menemukan Rumah Lamin, sebuah rumah adat dayak yang bentuknya panjang. Selain itu kita juga bisa melihat secara langsung kehidupan khas suku dayak. Datanglah kesana pada hari Minggu pukul 14.00 waktu setempat, maka kita akan disuguhi upacara adat khas setempat dengan tarian-tarian yang khas.
Jika saja pemerintah setempat bisa lebih tegas mengatur kebersihan
kota, tata ruang kota, hingga izin pertambangan, Kota Samarinda bisa
menjadi kota tujuan wisata yang menarik. Kota yang penduduknya terdiri
dari beragam etnis ini sebenarnya menyimpan beragam potensi wisata di
dalamnya mulai dari wisata religi, belanja, olahraga, hingga kuliner.
Dan setiap tempat-tempat tersebut akan meninggalkan jejak romantika
memori yang tak terlupakan dari para pengunjungnya.
Rasanya, tak perlu kita meminum air Sungai Mahakam yang dipercaya jika meminumnya kita akan terus kembali ke kota itu. Dengan segala potensi wisata yang tersimpan di dalamnya, bisa saja setiap pengunjung akan rindu untuk kembali menjejakkan kaki di Kota Samarinda. Dan setiap sudut Kota Tepian akan selalu menyimpan romantikanya. Romantika di sebuah kota dimana antara satu penduduk dengan penduduk lainnya seharusnya berdiri sama rendah, sama seperti asal-usul nama kotanya…
(Pemenang Blog detikcom di Lomba Blog "ekspresikan Samarinda Dengan Kata". Diambil dari http://duniamuam.wordpress.com/2012/01/07/romantika-kota-tepian/ from Lostener P. Aryo W.)
Islamic Center dilihat dari tepian Mahakam. Sumber: Koleksi pribadi P. Aryo W. |
Saya masih mengingatnya ketika sebuah jembatan sepanjang 400 meter menyambut saya memasuki Kota Samarinda. Jembatan yang saat ini telah berusia 24 tahun itu adalah Jembatan Mahakam. Jembatan tersebut menjadi ikon kebanggaan Kota Samarinda dan merupakan infrastruktur penting yang menjadi gerbang masuk Kota Samarinda dari Samarinda Seberang.
Jembatan Mahakam. Sumber: Koleksi pribadi |
Hujan gerimis masih menghiasi kota saat perlahan saya menyusuri jalan di Tepian Sungai Mahakam dan menemukan sebuah bangunan serupa masjid berukuran besar. Yup, masjid termegah kedua di Asia Tenggara setelah Masjid Istiqlal yang dinamakan Islamic Center Samarinda itu kini telah menjadi ikon baru Kota Samarinda. Jika ke Samarinda, mampirlah ke masjid ini, sekedar untuk menikmati kemegahan bangunan utama yang luasnya mencapai 4.500 meter persegi. Saya sendiri pernah menaiki salah satu dari 7 menara yang bermakna Asma Al-Husna yang mengelilingi masjid tersebut.
Sudut kota Samarinda dari menara Islamic Center. Sumber: Koleksi Pribadi |
Dari sana kendaraan melaju sampai berhenti di persimpangan lampu merah, kemudian berbelok ke arah kanan. Lurus terus hingga bertemu persimpangan Mal Lembuswana, salah satu Mall yang pertama-tama berdiri di Kota Samarinda. Saat ini memang Kota Samarinda telah dikenal sebagai pusat perbelanjaan. Sedikitnya 5 bangunan mal berdiri di atas Kota Tepian ini.
Meski telah disesaki dengan pusat perbelanjaan modern, kota ini tetap tidak melupakan pasar-pasar tradisionalnya yang hingga sampai saat ini tak pernah sepi. Pasar Segiri masih setia melayani pelanggan yang membutuhkan sayur mayur dan bahan lauk pauk. Pasar Pagi juga masih memenuhi kebutuhan warga kota untuk mencari aneka kebutuhan tekstil dengan harga terjangkau. Satu lagi, masih ada Pasar Citra Niaga yang sampai saat ini masih menjual pernak-pernik oleh-oleh khas Samarinda, seperti Batik Kaltim atau ukiran khas dayak.
Berbelok ke arah kiri dari perempatan Mall Lembuswana menyusuri Jalan M. Yamin, disitulah awal pertama kali saya tinggal di Kota Tepian ini. Kawasan yang juga dekat dengan Universitas Mulawarman, sebuah universitas terbesar di Kalimantan Timur. Selain dikenal pusat belanja, Kota Samarinda juga dikenal sebagai pusat pendidikan di kawasan Kalimantan Timur. Selain Universitas Mulawarman sebagai kampus negeri, masih banyak kampus-kampus besar yang tersebar di sekitar Kota Samarinda.
Dari Jalan M. Yamin kita bisa terus menyusuri hingga bertemu Stadion Utama Sempaja. Dari sana berbeloklah ke arah kanan kemudian setelah lampu merah ambil jalan ke kiri ke arah menuju Bontang. Setengah jam menempuh perjalanan dari sana kita akan mendapati Kebun Raya Universitas Mulawarman sebagai pusat konservasi dan perkembangbiakan aneka flora. Di dalamnya kita dapat menemukan air terjun tanah merah.
Tak jauh dari sana, kita bisa berkunjung ke Desa Pampang. Sebuah desa budaya yang didalamnya merupakan perkampungan asli dari keturunan Dayak Kenyah. Di desa tersebut kita bisa menemukan Rumah Lamin, sebuah rumah adat dayak yang bentuknya panjang. Selain itu kita juga bisa melihat secara langsung kehidupan khas suku dayak. Datanglah kesana pada hari Minggu pukul 14.00 waktu setempat, maka kita akan disuguhi upacara adat khas setempat dengan tarian-tarian yang khas.
Senyum dari Desa Pampang. Sumber: Koleksi Pribadi: P. Aryo W |
Rasanya, tak perlu kita meminum air Sungai Mahakam yang dipercaya jika meminumnya kita akan terus kembali ke kota itu. Dengan segala potensi wisata yang tersimpan di dalamnya, bisa saja setiap pengunjung akan rindu untuk kembali menjejakkan kaki di Kota Samarinda. Dan setiap sudut Kota Tepian akan selalu menyimpan romantikanya. Romantika di sebuah kota dimana antara satu penduduk dengan penduduk lainnya seharusnya berdiri sama rendah, sama seperti asal-usul nama kotanya…
(Pemenang Blog detikcom di Lomba Blog "ekspresikan Samarinda Dengan Kata". Diambil dari http://duniamuam.wordpress.com/2012/01/07/romantika-kota-tepian/ from Lostener P. Aryo W.)
0 komentar:
Posting Komentar