Rabu, 11 Januari 2012

Braga, Bandung : Now and Then

Berkeliling kota Bandung, pikiran saya tertuju pada sebuah kawasan tua yang sudah cukup dikenal oleh banyak orang. Nama Braga pasti sudah tidak asing ditelinga orang-orang yang pernah mengenal dan berkunjung ke kota Bandung ini.

Menurut beberapa informasi, di jaman penjajahan Belanda, jalan Braga dikembangkan menjadi kompleks pertokoan dengan bangunan bergaya Eropa oleh Pemerintah Hindia Belanda.


Memarkir sepeda motor di dekat kawasan Museum Asia Afrika, kali ini saya yang berpetualang bersama ayah saya berjalan ke arah jalan Braga yang tidak jauh dari lokasi parkir. Tidak sampai lima menit, kami menemukan sebuah jalan yang terdapat papan nama jalan bertuliskan Jl. Braga.
Sejarah Jalan Braga bermula dari sebuah jalan kecil di depan pemukiman yang cukup sunyi sehingga dinamakan Jalan Culik karena cukup rawan, juga dikenal sebagai Jalan Pedati (Pedatiweg) pada tahun 1900-an. Jalan Braga menjadi ramai karena banyak didirikan toko-toko, bar dan tempat hiburan di kawasan itu seperti toko Onderling Belang. Kemudian pada dasawarsa 1920-1930-an muncul toko-toko dan butik (boutique) pakaian yang mengambil model di kota Paris, Perancis yang saat itu merupakan kiblat model pakaian di dunia. Dibangunnya gedung Societeit Concordia yang digunakan untuk pertemuan para warga Bandung khususnya kalangan tuan-tuan hartawan, Hotel Savoy Homann, gedung perkantoran dan lain-lain di beberapa blok di sekitar jalan ini juga meningkatkan kemasyhuran dan keramaian jalan ini. Namun sisi buruknya adalah munculnya hiburan-hiburan malam. Dari sinilah istilah kota Bandung sebagai kota kembang mulai dikenal.


Siang hari yang cukup terik, suasana jalan Braga terasa sepi, ketika menelusuri sisi trotoar di sebelah kiri (barat) hanya terlihat beberapa bangunan yang digunakan sebagai tempat usaha. Selebihnya banyak sekali bangunan tua yang terlihat tutup atau tanpa ada aktivitas manusia di dalamnya. Di salah satu sudut jalan terlihat seorang pelukis yang memajang lukisan hasil karyanya disepanjang jalan yang berharap orang yang melewati kawasan Braga tertarik dan membeli lukisan tersebut.



Kami merasa kawasan Braga memang masih terlihat unik dan klasik, walaupun beberapa bagian bangunan sudah tidak asli lagi dan mengalami renovasi. Beberapa bangunan tua ada yang disulap menjadi restoran dan cafe namun tetap mempertahankan arsitektur kunonya. Hanya penambahan properti bangunan yang mempercantik dan menarik minat calon pelanggan untuk mendatangi restorannya.
Banyaknya komplek pertokoan baru membuat Braga kian tergeser. Bahkan, sejak 2005, sebanyak 45 persen pemilik usaha di sekita Braga menutup usahanya.


Walaupun ada beberapa restoran dan cafe yang menghidupi suasana Braga di siang hari dan di malam hari, namun tetap saja suasana masih terasa sepi. Sepertinya banyak orang sudah tidak tertarik lagi dengan pesona kawasan ini dan mungkin banyaknya pusat pertokoan dan perbelanjaan di berbagai kawasan di kota Bandung menjadi salah satu penyebabnya. Entah apakah nasibnya akan seperti Kawasan Industri Kerajinan Kulit Cibaduyut yang kehilangan masa kejayaannya atau akan kembali bangkit karena kerinduan terhadap masa-masa lampau. Hanya waktu yang bisa menjawab.

0 komentar:

Posting Komentar