Senin, 10 Juni 2013

Jogjakarta : Keramahan dan Budaya yang Membuat Rindu (Part 1 of 2)

Pulang ke kotamu. Ada setangkup haru dalam rindu. Masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna. Terhanyut aku akan nostalgi. Saat kita sering luangkan waktu, nikmati bersama. Suasana Jogja. (Jogjakarta - Kla Project)
Tugu Jogja (dok. istimewa)


Sepenggal lirik Kla Project dalam lagunya yang berjudul "Jogjakarta" seakan mewakili rasa rindu saya akan kota gudeg tersebut. Kerinduan itu terbayar pada tanggal 25 Mei 2009. Saya bersama tujuh teman lain memutuskan berangkat ke Jogjakarta selama enam hari . Dengan menggunakan kereta api eksekutif Taksaka dari Stasiun Gambir, kami meluncur menuju Jogjakarta. 

Saya sarankan untuk menggunakan kereta bisnis atau ekonomi karena pemandangan selama perjalanan sama saja selain itu juga lumayan untuk menghemat biaya. Perjalanan memakan waktu kurang lebih delapan jam. Sedang asyik tertidur pulas, tiba-tiba speaker dalam gerbong kereta berbunyi dan memberitahukan penumpang bahwa kereta akan segera tiba di Stasiun Tugu, Jogjakarta.



Malioboro yang Selalu di Hati
Setiap malam, kami habiskan untuk menyusuri jalan paling ramai di kota Jogjakarta tersebut. Untuk mengisi perut pun, jajanan di sekitar Malioboro menjadi pilihan favorit. Tempat makan favorit kami yaitu Angkringan Lek Man. Selain karena kemahsyuran menu kopi jossnya yang nikmat dan mampu menghangatkan tubuh di dinginnya malam kota Jogja, angkringan Lek Man ini juga super murah. Cukup mengeluarkan Rp 4.000,- saja, Anda bisa makan kenyang dengan pilihan menu sate ati, sate puyuh, nasi kucing isi tempe, nasi kucing isi teri, bihun, dan lain-lain.

Selesai mengisi perut, kami mulai berjalan menyusuri Jalan Malioboro. Di sepanjang kanan-kiri jalan masih banyak pedagang yang menjajaki jualannya dan menegur sapa setiap pengunjung yang lewat. Satu tips berbelanja untuk Anda yaitu tawarlah harga hingga 1/3 dan jangan lupa menawar dengan memakai bahasa Jawa seperti "Niki pinten bu?"/"Ini berapa bu?". Mereka biasanya lebih bersimpati pada turis yang berusaha menghargai budaya lokal . Siapa tahu dapat potongan harga, bukan?

Wilayah yang cukup ramai di malam hari juga dapat Anda temui di Jalan Sosrowijayan, di samping jalan Malioboro. Bagi para backpacker, wilayah ini sangat terkenal karena banyak terdapat hostel murah dengan harga mulai dari Rp 40.000,- per malam. Banyak wisatawan asing yang tinggal di daerah ini. Memasuki gang sempit tersebut, Anda juga akan menemukan deretan bar-bar yang buka hingga subuh.

Menemukan Tempat Belanja Rahasia di Beringharjo
Jalan Malioboro sepertinya menjadi tempat favorit kami untuk menghabiskan waktu entah itu hanya sekedar jalan, cuci mata, hingga belanja souvenir. Di ujung jalan ini terdapat sebuah pasar tradisional tertua yang sudah ada sejak tahun 1758 bernama Pasar Beringharjo. Beringharjo dulunya merupakan hutan beringin tetapi semenjak tahun 1758 dijadikan tempat transaksi ekonomi warga Jogja.

Di dalam gedung tua tersebut, Anda akan menemukan macam-macam pakaian, aksesoris, hingga barang kebutuhan pokok bagi warga Jogja. Untuk produk seperti pakaian dan aksesoris, pasar Beringharjo memang m enawarkan harga yang lebih mahal daripada pedagang kaki lima yang berada di luarnya. Namun, kami lagi-lagi beruntung karena menemukan sebuah ’tempat rahasia’ di Pasar Beringharjo. Tempatnya masih di dalam gedung pasar Beringharjo, namun memang sedikit terpencil dan sepertinya jarang dijamah pengunjung. Tepatnya berada di lantai teratas di sektor barang-barang bekas dan kerjinan tangan. Bagi para pecinta wisata belanja, temukanlah tempat belanja rahasia ini karena dijamin akan menjadi surga bagi Anda dalam berbelanja.

Sunset Cantik di Candi Atas Bukit
Tempat lain yang wajib Anda kunjungi adalah Candi Ratu Boko. Candi yang terletak di sebelah selatan komplek Candi Prambanan atau sekitar 18 km sebelah timur kota Jogjakarta ini memberikan pemandangan matahari terbenam yang sangat cantik. Anda harus melihatnya!

Candi Ratu Boko diduga merupakan sebuah istana raja pada masanya. Nama "Ratu Boko" sendiri didasarkan atas legenda masyarakat setempat. Ratu Boko yang secara harafiah berarti "raja bangau" adalah ayah dari Loro Jonggrang yang dijadikan nama candi utama pada komplek Candi Prambanan.

Untuk mencapai candi ini, Anda harus melawati ribuan anak tangga yang cukup tinggi karena letaknya yang berada di puncak bukit. Untuk masuk ke dalam situs Candi Ratu Boko, Anda cukup mengeluarkan biaya Rp 10.000,- tapi tidak disertai pemandu. Entah ada pelayanan jasa ini atau tidak, tetapi yang jelas pada saat kami kesana waktu itu sore hari, tampaknya tidak ada satu pun tawaran guide yang memandu perjalanan kami, tidak seperti di Borobudur. Di dalam situs ini terdapat beberapa area seperti kamar tidur putri (keputren), pemandian gapura, ruang Paseban, pendopo, pringgitan, dan dua ceruk gua untuk bermeditasi.

 
Candi Ratu Boko (dok.istimewa)

Terpukau Aksi Hanoman dalam Sendratari Ramayana
Di hari kedua, kami berencana untuk menonton pementasan sendratari Ramayana di Candi Prambanan. Pada malam harinya, kami berangkat menuju komplek Candi Prambanan di Jl. Raya Yogya-Solo km 16. Kami membeli tiket paling murah (kelas 2) seharga Rp 50.000,- langsung di tempat. Bagi Anda yang tidak terlalu mengerti jalan cerita Ramayana, sebaiknya membaca lebih dulu alur ceritanya di brosur-brosur yang disediakan oleh penyelenggara, gratis!

Sebenarnya ada hal lain yang membuat saya akhirnya memutuskan untuk ikut menonton yaitu pemandangan Prambanan. Sebuah candi megah peninggalan kerajaan Hindu itu berdiri tegap gagah nan eksotis disinari lampu sorot berwarna keemasan serta sinar alami dari rembulan yang ketika itu tampak terang benderang. Menakjubkan! Apa jadinya sebuah pementasan seni ditampilkan dalam panggung terbuka dengan latar belakang pemandanan yang subhanallah ini? Saya pun dibuatnya penasaran.

Nyatanya, harga tiket yang cukup mahal tersebut sebanding dengan apa yang saya dapatkan saat itu. Meski terkesan panjang, tetapi saya menikmati babak per babak pagelaran yang menceritakan kisah Rama dan Shinta ini.

Saya terkesima pada sebuah adegan dimana Hanoman dijatuhi hukuman mati dengan cara dibakar oleh Indrajit, anak lelaki Rahwana. Namun, bukannya mati Hanoman justru berhasil melarikan diri dan bahkan membakar kerajaan Alengka dengan tubuhnnya yang masih penuh kobaran api.

Mata saya tidak lepas sedetik pun dari panggung. Saya tercekat. Mata saya fokus pada satu titik. Detak jantung saya sepertinya berdetak lebih cepat. ”Fantastis!” benak saya bergumam. Panggung menjadi penuh akan kobaran api sungguhan. Adegan ini tampak begitu nyata bagi saya, emosi pun turut larut dalam cerita tersebut. Betul-betulr teknik panggung yang patut diacungi jempol!

Usai pementasan, jangan lupa untuk mengaktifkan kamera Anda karena penyelenggara memberikan waktu selama 10 menit untuk berfoto bersama setiap pemain sendratari Ramayana. Dengan sigap, saya langsung mendekati sang Hanoman, yang kini telah menjadi karakter favorit saya (cukup malu untuk mengakui ini sebenarnya ). Tidak lupa kami berdelapan juga mengabadikan foto dengan latar Candi Prambanan. Pengalaman yang tak terlupakan!


(Artikel ini sudah mendapat persetujuan penyebaran tulisan di situs GLII dari penulis aslinya, Sabrina) 

0 komentar:

Posting Komentar