Lembah Anai dari atas rel Kereta Api |
Benar juga kata orang, bahwa Lembah Anai adalah lokasi ajaib. Tempat yang tidak akan "melepaskan" seorangpun yang pernah melewatinya. Siapa saja yang pernah mengalami perjalanan antar tebing dan jurang di jalur sepanjang 4 kilometer itu pasti punya kenangan tersendiri.
Bila kenangan itu muncul, mungkin ada baiknya bila kita memanfaatkannya untuk kembali mereview perjalanan hidup, menghitung segalanya dari pangkal. Rehatlah disana agak sebentar, lalu biarkan alam menjadi peredam segala rasa kecewa, sedih, dan kelu hati.
Betapa kuat sensasi yang saya rasakan saya sengaja berhenti di sana (lembah Anai, red). Memang ini bukan pertama kali saya melewati Silaing. Namun, rasanya udah terlalu lama saya tidak berhenti sekedar menghela nafas dan melepaskan lelah.
Ketika menatap hijau bebukitan sembari menghisap udara dingin yang sedikit melembabkan pernafasan, saya seakan sadar bahwa telah begitu lama saya tidak menjadi bagian dari alam yang sesungguhnya. Saya--mungkin seperti jugap para pesinggah lainnya-- selama ini hanyalah aktor-aktor kecil yang dipermainkan liku labirin hidup yang berdinding beton dan kaca.
Motor saya tepikan di sebuah tikungan. terdapat bagian yang diperluas sehingga memungkinkan untuk kendaraan berhenti dengan aman. Sementara mobil dan truk terus menghujam udara dengan semprotan karbon dioksida, wangi daun Thitonia justru menjadi aroma therapy yang tak pernah terkalahkan oleh asap sehitam apapun.
Dari lokasi itu, terlihat jelas jurang yang perlahan ditinggalkan kabut. Saya tiba-tiba tidak sabar untuk melihat jembatan kereta api peninggalan nenek moyang-sama sekali, rel panjang itu bukan ciptaan Belanda, tapi kakek dan nenek kita.
Ketika udara mulai cerah, di bawah sana sang legenda menampakkan kecantikannya. Tapi Ia yang sekarang, berbeda dengan Ia yang dulu. Lembah Anai yang dulunya saya kenal serba hijau molek oleh duan-daun belukar subur, kini sedikit terluka. Gempa Sumatera (30/9), telah menciptakan goresan-goresan di wajah lembah itu. Tebing-tebing penuh lekuk tampak terkelupas. Agaknya selapis humus subur sudah turun menjadi material longsor, hingga meninggalkan relief bebatuan bercampur tanah. Tapi alangkah luar biasanya rencana tuhan.
Sama sekali, luka itu bukan memperburuk penampilan Lembah Anai. Ia kini semakin cantik dengan "kulit" barunya. Di empat titik, relief batu-batu mineral menghias dengan sempurna. Mungkin tinggal menunggu lelumutan melapisi, maka bebatuan itu akan membuat orang lupa akan wisata lembah sekelas Grand Canyon sekalipun.
Ya, sang legenda kini semakin menghipnotis. ternyata luka-luka itu begitu cantiknya. Apalagi bagi mereka yang menyukai fotografi. Sebagai Background, atau objek utama, relief batu Silaing memang tak ada duanya.
Pantas saja Buya Hamka pernah menjadikan lokasi ini sebagai salah satu setting romannya. Dalam "Dibawah Lindungan Ka'bah" buya seakan memastikan bahwa Lembah Anai dan Padang Panjang adalah sorga romantisme yang tiada pudarnya.
Turun sedikit ke arah padang, terdapat lagi keindahan yang lain. batas kota dengan jembatan melintang diatasnya membuat kenangan-kenangan masa kecil berhamburan dari pikiran saya. masih teringat ibu, bibi, dan nenek mengajak saya yang ketika itu masih belia berjalan-jalan. Sebelum berangkat kala itu, mereka berjanji bahwa tempat yang akan kami kunjungi adalah lokasi wisata yang sangat indah.
Dengan sederhana saya ketika itu memahami bahwa mereka akan mengajak saya ke Stanza (wisata permainan modern di tahun 80-an). ternyata saya salah, mereka mengajak saya ke sebuah spektrum sorga, begitu cantik, sampai saya sebagai anak kecil waktu itu merengek-rengek meminta ibu membangun sebuah rumah disalah satu tebingnya.
Semakin sore, awan hitam berarak dari balik tebing. Gerimis mulai mempengaruhi minat sebagian pengunjung untuk berlama-lama ditengah kungungan udara dingin. Satu persatu mereka beranjak. Sangat mungkin pula, sebagian diantara mereka justru takut longsor akan kembali terjadi, sehingga kendaraan mereka kebut menuju arah keluar lembah.
Namun bagi saya, hujan di Silaing adalah waktu yang tepat untuk menggerus kecantikan lembah ini. Di balik tirai-tirai air Lembah Anai bak anak gadis yang sedang memeras rambut basahnya. Semakin lebat hujan, semakin cantik ia. (Muhammad Fadhli)
0 komentar:
Posting Komentar