Minggu, 29 Mei 2011

Flores


Tanah Flores dari Maumere hingga Labuan Bajo jauhlah dari gersang. Hijau lembab dikelilingi oleh pegunungan. Kondisi jalan mulus tanpa lubang, berkelok naik turun mengikuti alur pegunungan disepanjang perjalanan. Memang waktu itu
musim penghujan bulan Desember 2010.

Satu setengah jam penerbangan dari Denpasar menuju Bandara Wai Oti, Maumere. Masih terkagum-kagum melihat pemandangan dari atas pesawat, terlihat lekukan-lekukan kepulauan timur Indonesia, pasir putih dan gradasi warna laut. 3 Desember 2010, hari ini Maumere cerah sekali.

Sayang,saya hanya melintasi saja kota Maumere, seorang teman sudah menunggu kedatangan saya dan kami bergegas menuju Wolowaru. Kecamatan Wolowaru termasuk dalam kabupaten Ende 5 jam perjalanan dari Maumere ke Wolowaru, motor ini melaju dan kami sesekali berhenti untuk merenggankan otot-otot. Sempat kami berhenti dipantai, tapi saya lupa nama pantai itu.
Wolowaru terletak diantara Maumere dan Ende, desa terdekat dengan Moni
dimana Danau Kelimutu, danau vulkanik dengan 3 warna yang terkenal itu menjadi daya tarik wisatawan. Temanku ini mempunyai rumah di Wolowaru, beliau berbaik hati menyilakanku menginap dirumahnya. Istri dan 2 orang anaknya menyambut kami sore itu. Beberapa kali saya memperhatikan didepan rumah penduduk ada pusara perkuburan. Sama halnya dengan rumah teman saya ini. Rupanya didaerah itu tidak ada perkuburan umum, sehingga keluarga yang meninggal dikubur didepan halaman rumah mereka. Pusara yang dihiasi porselen dan didisain cantik, sama sekali tidak tampak seram.

Niat hati untuk bangun pagi sekali, melihat ramainya pasar Wolowaru dimana system barter berlaku tapi apadaya rasa malas mengalahkan keinginan untuk bangun pagi.
Hari ini akan menjadi perjalanan pajang pertama saya overland Maumere – Labuan Bajo menggunakan motor. Sekitar jam 8 pagi kami beranjak dari rumah menuju ke Moni.

Moni adalah desa terdekat menuju Danau 3 warna Gunung Kelimutu, banyak terdapat homestay disana, udara dingin menembus jaket saya. Hari ini cerah, dan semoga kami tidak bertemu kabut dipuncak Kelimutu nanti.
Gunung Kelimutu masuk dalam wilayah kabupaten Ende adalah gunung berapi yang memiliki 3 kawah dipuncaknya. Kawah-kawah ini yang membentuk danau sekarang memiliki 3 warna yang berbeda. Setiap kawahnya selain memiliki warna yang berbeda juga punya nama dan cerita yang berbeda. "Tiwu Nuwa Muri Koo Fai" merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa muda-mudi yang telah meninggal. "Tiwu Ata Polo" merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang yang telah meninggal dan selama ia hidup selalu melakukan kejahatan/tenung. Sedangkan
"Tiwu Ata Mbupu" merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang tua yang telah meninggal. Pada waktu kami kesana danau yang letaknya bersebelahan "Tiwu Nuwa Muri Koo Fai" dan "Tiwu Ata Polo" , berwarna sama hijau muda dan ada sedikit corak putih, sementara warna danau "Tiwu Ata Mbupu" yang terletak sekitar 500 meter dari kedua danau tadi berwarna Hijau pekat dan cenderung hitam. Sejak tahun 2009 danau "Tiwu Nuwa Muri Koo Fai" dan "Tiwu Ata Polo", memiliki warna yang sama, sebelumnya "Tiwu Nuwa Muri Koo Fai" berwarna biru sedangkan "Tiwu Ata Polo" berwarna merah. Dan danau "Tiwu Ata Mbupu", sebelumnya berwarna putih. Perubahan warna ini menurut temanku terjadi setiap 3 tahun sekali.

Pukul 10.30 pagi dan kabut sudah mulai turun. Motor kembali melaju menuju Desa adat Jopu. Temanku ini tinggal di Wolowaru namun beliau asli orang Jopu. Tidak seluruhnya di Desa Jopu ini berdiri rumah adat. Kondisi desa ini sudah membaur dengan rumah penduduk sekitar yang tidak berbentuk rumah adat. Rumah adat Jopu memiliki atap

berbentuk jajaran genjang terbuat dari dedauan kering. Rumah berbentuk rumah panggung dan dibawah rumah tersebut biasa para perempuan menenun kait ikat. Desa Jopu adalah masyarakat keturunan suku Lio, suku yang tertua di Flores Tengah. Seperti saudara jauh yang datang menjengguk, saya disambut dengan hangat oleh saudara-saudara teman saya. Mereka memberi kesempata
n pada saya untuk mengenakan kain ikat tenun dan masuk kedalam rumah adat. Menujukan beberapa beda pusaka serta peti-peti berisi benda pusaka yang tidak dapat saya lihat. Semua alat-alat itu untuk keperluan upacara adat, seperti perobakan rumah adat yang dilakukan setiap 5 tahun sekali. Biasanya atap rumah adat diperbaharui setiap 5 tahun sekali. Ada beberapa peti juga untuk menyimpan tulang belulang leluhur mereka.

Sehabis makan siang dengan keluarga di Jopu, kami melanjutkan ke Desa adat Nggela. Kebetulan hari ini hari Sabtu, tak banyak kegiatan dilakukan didesa Nggela. Menurut temanku tidak ada kegiatan bekerja di hari Sabtu dan Minggu, termasuk kegiatan tenun pun tak mereka lakukan. Ini karena hari Sabtu dan Minggu diperuntukan untuk hari keluarga dan beribadah. Desa Nggela termasuk dalam kecamatan Wolojita, desa ini menyerupai komplek kecil dengan sekitar 17 rumah adat mengelilingi satu lapangan kecil. Bentuk rumah bisa dibilang sama dengan rumah adat di Jopu. Dilapangan ini saya melihat podium dan tumpukan batu tersusun untuk upacara adat. Dan yang unik saya melihat satu kuburan berbentuk kapal. Konon kuburan tersebut adalah kubur dari kapten kapal yang terdampar di Nggela, dan mendirikan perkampungan itu. Samara-samar dibadan kuburan kapal itu terdapat tulisan AMBON.

Hari sudah semakin sore, target kami jam 3 sore sudah harus mulai perjalanan menuju Ende. Wolojita ke kabupaten Ende sekitar 2 jam, sepanjang jalan berliku tajam, dan dikelilingi oleh pegunungan hijau, udara dingin dan lembab tak lepas mengikuti.

Ende merepakan wilayah kabupaten, terdapat Bandar udara kecil di Ende.
Harusnya sore ini ada seorang teman saya lagi yang menjemput untuk
melanjutkan perjalanan dari Ende ke Bajawa. Apa boleh buat teman saya tak kunjung datang untuk menjemput. Waktu sudah menujukan pukul 5 sore, saya sedikit pesimis ada travel untuk menuju Bajawa malam ini. Akhirnya dengan bantuan seorang guide di Bajawa, saya berhasil mendapatkan travel untuk menuju Bajawa. Pantai sepanjang Ende menuju luar wilayah kabupaten, memerah, menjelang matahari terbenam. Menakjubkan.

11 malam di Bajawa, guide yang membantu saya mencarikan travel sudah ada dipenginapan Korina. Bajawa adalah ibu kota Kabupaten Ngada. Dari beberapa
literature saya sudah mendapatkan info kalau Bajawa merupakan tinggi dan dingin. Guide ini yang akan menjadi teman seperjalanan dari Bajawa menuju Labuan Bajo.

Esok hari, 5 Desember. Guide sudah menunggu saya diruang makan penginapan, hari ini tujuan kami adalah Desa traditional Bena.
Desa Bena terletak di kaki gunung Inerie Hari ini hari Minggu sepanjang jalan menuju desa Bena saya beberapa kali bertemu dengan rombongan penduduk yang hendak pergi beribadah, dengan menggunakan pakaian adat Flores. Kain
tenun ikat, untuk sarungnya, serta selendang tenun ikat. Pria dan wanita memakai kain itu untuk pergi ke gereja. Pada halaman rumah penduduk dihiasi oleh ngadhu dan bagha. Ngadhu adalah bangunan miniatur berbentuk seperti payung sebagai simbol keluarga pihak laki-laki yang berasal dari Benda dan Bagha adalah
bangunan miniatur berbentuk seperti rumah sebagai simbol keluarga pihak perempuan yang berasal dari Bena. Tradisi mereka menganut sistem matrilineal, mengikuti garis keturunan wanita. Perkawinan dengan suku lain menghasilkan klan-klan baru.

Tibalah kami didesa tradisional Bena, komplek desa tradisional cukup luas. Seperti halnya di Nggela, desa ini juga mengelilingi satu lapangan luas, bedanya kontur tanah didesa Bena berbukit, dan rumah-rumah adat itupun susunannya mengikuti kontur tanah. Peninggalan megalith didesa Bena lebih banyak
dibanding dengan Jopu dan Nggela. Banyak altar-altar dari susunan batu untuk upacara adat dan persembahan. Selain susunan batu yang diperuntukan upacara adat dan

persembahan ada juga yang merupakan kuburan-kuburan tua. Rumah adat di Bena tidak sebesar di Jopu ataupun Nggela, namun diatas atap rumah terdapat simbol-simbol. Simbol miniatur Ngadhu dan Bagha, simbol boneka kecil di atap, menandakan rumah nenek moyang lelaki atau disebut juga sao saka lobo.
Sebelum pergi meninggalkan desa itu kami sempat singgah sebentar dirumah
salah satu penduduk di desa tradisional Bena untuk menikmati secangkir kopi. Target kami meninggalkan Bajawa sekitar pukul 1 siang. Sepulang dari desa Bena, rintik hujan mulai menyambut. Sebentar saja terang, namun kembali rintik hujan menghampiri, hampir sepanjang perjalanan Bajawa – Ruteng. Dingin
menusuk tulang, beberapa kali kami berhenti untuk merenggangkan otot-otot sambil menikmati pemandangan seputar kami. Semakin jauh kami meninggalkan Bajawa namun gunung Inerie, samar-samar tetap terlihat.

Sempat kami berhenti Aimere, perjalanan antara Bajawa – Ruteng. Aimere terkenal dengan arak rumah produksi arak dan menyebar disepanjang jalan
diwilayah Aimere. Melihat proses pembuatan arak di Aimere-Flores. Air dari buah pohon arak di fermentasi sekitar 3 hari, dan kemudian masuk pada proses penyulingan. Untuk mendapatkan arak dengan alkohol yang tinggi diperlukan berkali-kali proses penyulingan (bisa 3-5kali). tetesan air dari hasil penyulingan air buah arak menghasilkan akan menghasilkan arak. tetesan air yang keluar dari penyulingan menentukan kadar alkohol dalam arak. tetesan yang cepat berarti kadar alkohol rendah, sementara tetesan yang lambat berarti kadar alkohol tinggi.
Kurang lebih pukul 5.30 sore ini kami sudah memasuki wilayah terluar dari Ruteng. Berhentilah kami di warung kecil yang menyediakan mie instant dan minuman hangat. Makanan dan minuman ternikmat saat badan lelah dan kedinginan. Tak disangka dibalik tembok yang menjadi tempat sandar warung ini terdapat satu danau indah. Danau ini adalah danau Ranamese yang menjadi
daerah tujuan wisata juga. Danau hening walau tempatnya tepat disisi jalan, dan orang tak akan menyadarinya karena danau ini tertutup tembok tinggi. Rasanya ingin menyusuri danau ini, sayang hari sudah mulai gelap dan rintik hujan tak juga berhenti.

7.30 malam, akhirnya kami tiba di pusat wilayah kecamatan Ruteng. Ruteng tidak kalah dinginnya dengan Bajawa, Ruteng adalah sebuah Kecamatan yang juga
merupakan ibu kota Kabupaten Manggarai. Hari ini sungguh melelahkan, sebelum mata terpejam saya berguman, .. “tinggal 1 tempat lagi dan saya tiba di LabuanBajo”.

6 Desember, pukul 8 pagi kami sudah siap kembali kemedan tempur perjalanan. Guide saya sudah siap dengan motornya. Hari ini daerah sasaran kami adalah situs Liang Bua, dan persawahan Cara.
Liang Bua adalah pusat penelitian dan pengembangan arkeologi. Tempat ini merupakan gua. Tempat penggalian fosil purba dan ditempat inilah ditemukan fosil kerangaka mahluk yang mirip dengan manusia Pada bulan September 2003 ditemukan kerangka unik yang kemudian diidentifikasi sebagai Homo floresiensis. Bersamaan dengan manusia purba itu ditemukan pula perkakas batu yang dikenal telah digunakan oleh Homo erectus (seperti yang ditemukan di Sangiran) serta sisa-sisa tulang Stegodon (gajah purba) kerdil, biawak raksasa, serta tikus besar. Namun ketika kami kesana, tempat ini tertutup rapat, tak bisa kami masuk kedalam gua. Tak dapat keterangan sejak kapan situs Liang Bua ditutup dan tidak ada kegiatan penggalian lagi.

Seperti tanah Jawa, di Ruteng ini terhampar petak-petak sawah. Pada saat itu sawah menghijau. Sempat kami berkeliling kesalah satu persawahan yang indah, melihat dari dekat kegiatan petani yang sedang menggiling padi ataupun
menanam padi. Cukup lama kami berkeliling menikmati pemandangan sawah.
Pematang-pematang sawah itu juga ditanam membentuk tangga seperti Tegalalang di Ubud-Bali. Bedanya hamparan sawah ini jauh lebih luas dari yang pernah saya lihat di Jawa ataupun diBali. Tak pernah saya menyangka ada tempat seperti ini di Flores.

Cara terletak diluar wilayah Ruteng. Adalah persawah dengan bentuk pematang seperti sarang laba-laba yang disebut Lingko. Konon bentuk ini diambil untuk memudahkan pembagian waris sawah dengan adil kepada pihak keluarga yang memiliki sawah.

Melanjutkan perjalanan dari Ruteng ke Labuan Bajo, hujan kembali menemani. Kami melintasi daerah persawah Borong. Area seluas 31.000 ha, ditanami padi
dan juga tanaman holtikultura lainnya. Dari kejauhan terlihat kembali pegunungan yang telah ditutupi kabut tebal, pertanda perjalanan dari Ruteng – Labuan Bajo akan ditemani hujan deras. Hari terakhir overland dengan motor ini terasa lebih berat daripada perjalanan dari Bajawa – Ruteng, ini mungkin karena kondisi badan saya yang sudah semakin lelah. Melintasi pegunungan ini motor kami melaju, hujan, dingin, letih, lengkap sudah. Ditengah perjalanan kami berhenti istirahat sebentar. Istirahat kali ini sangat istimewa. Segerombolan anak SD melintasi kami. Pandangan mata mereka, membuat saya terusik. Menatap penuh curiga dan takut. Spontan saya berteriak pada mereka. “Heeeeyyy mau foto ngga?”. Pasukan berseragam putih merah itu kabur kocar-kacir. Hanya tersisa 10 orang yang masih terdiam terpaku ditempat mereka berdiri. Saya hampiri anak-anak itu dan dengan lebih lembut saya mengiba “Hai, boleh foto ngga?”. Berhasil saya mendapatkan foto sekitar 7 orang anak pertama. 2 kali sesi foto dan lalu mereka kabur meninggalkan saya. Saya biarkan mereka berhamburan kejalan, dan saya tetap sibuk mengambil foto mereka sambil berteriak, “foto dari jauh yaaa”. Tak lama sebagian dari mereka bersorak-sorak gembira. Tanda baik pikir saya. Lalu saya panggil mereka, “Heeey mau liat fotonya ngga?”. Mungkin sekitar 20 anak mulai menyerbu saya melihat foto-foto mereka. Mereka senang, dan memangil teman-teman lainnya.

Kini pasukan berseragam putih merah itu mengerubuti saya dan mereka mulai
merenggek untuk difoto seorang sendiri-sendiri.
Betu-betul obat lelah mujarab. Semangat saya kembali pulih berkat mereka. Tawa mereka, rasa penasaran mereka. Saya lihat pakaian sederhana mereka, sebagian menggunakan sepatu sebagian tidak, sebagian punya tas sebagian tidak. Mereka sekolah, mereka sekolah walau harus berjalan jauh.
Satu dari mereka akan menjadi orang besar kelak.
Guide saya menunjuk satu teluk yang penuh dengan kapal dari kejauhan dan dia berkata : “Itu Labuan Bajo!!”.

Labuan Bajo termasuk dalam kabupaten Manggarai Barat. Tempat ini sangat terkenal karena adanya pulau Komodo dan pulau-pulau lain yang indah.
Memasuki Labuan Bajo, udara yang dingin mendadak hilang dan berganti dengan panas, khas daerah pesisir pantai. Pukul 5 sore kami masuk Labuan Bajo. Walau sore itu panas di Labuan Bajo namun awan gelap tak mau pergi dari langit. Tak membiarkan saya menikmati matahari terbenam di Labuan Bajo. Guide saya berkelakar, : “itu sebab supaya Inka kembali lagi ke Labuan Bajo untuk bekeliling Pulau Komodo dan sekitarnya”. Memang betul, walau sudah sampai di Labuan Bajo, namun waktu tak mengizinkan saya untuk menjelajahi Pulau Komodo dan pulau-pulau lainnya. Esok saya sudah harus terbang dari Labuan Bajo menuju Denpasar dan melajutkan ke Jakarta.

foto foto tentang Flores ini di blog selanjutnya yaaa...

catatan perjalanan ini ditulis oleh : Inka


0 komentar:

Posting Komentar