Dieng, yang tadinya cuma jadi harapan sekarang sudah menjadi kenyataan. Tanpa rencana yang matang, saya nekat untuk melakukan perjalanan ini sendirian selagi ada jatah day
off 4 hari. Setelah
browsing- browsing di internet, saya menjatuhkan pilihan pada Bus Malino Putra untuk transportasi ke sana. Dari beberapa pilihan yang ada, hanya Bus ini yang memiliki website dan terlihat cukup meyakinkan. Senin, 17 Desember 2012 akhirnya saya menelpon ke pangkalan bus yang ada di Terminal Lebak Bulus dan deal dengan harga ongkos 75.000 untuk pemberangkatan tanggal 19 Desember 2012 jam pemberangkatan 17.00. Ketika bayar karcis ternyata si Bapaknya minta 80.000. Beda sama yang di telpon sebelumnya.
Sebelumnya, saya jelaskan sedikit fakta tentang Dieng. Dieng adalah kawasan dataran tinggi di Jawa Tengah. Daerah ini kira- kira 2000 m di atas permukaan laut (dpl). Seperti daerah dataran tinggi lainnya di Indonesia, tempat ini cocok untuk bercocok tanam. Sebagian besar masyaratakatnya sehemat penglihatan saya adalah petani. Sebenarnya, objek wisata di sini bisa dibilang biasa saja, kecuali golden sunrisenya. Kebanyakan orang yang saya tanya, mereka berpergian ke sini tujuan utama adalah melihat Golden Sunrise. Kecuali Golden Sunrise, semua objek wisatanya bisa dihabiskan dalam satu hari saja. Jarak antara satu objek wisata ke objek wisata lainnya tidak terlalu jauh.
Selain itu, bagi teman- teman yang ingin memanjakan mata dengan keindahan alam dan sejuknya udara pegunungan sangat saya sarankan menghabiskan waktunya di sini. Atau sekedar untuk membaca buku dari teras atas penginapan sambil meneyeruput kopi panas.
Setelah mengistirahatkan badan sejenak dan mandi dengan air panas, saya mengisi perut dulu di warung makan di sebelah penginapan. Saat itu, sekitar pukul 10 pagi dan warung makan tidak begitu ramai. Hanya ada seorang bule dan kekasihnya (orang Indonesia) sedang makan nasi goreng khas Dieng. Saya-pun jadi teringat dengan topik di forum backpacker yang telah saya baca sebelumnya.
Selain mie ongklok dan purwaceng, nasi goreng dieng juga masuk salah satu makanan yang harus dicoba. Mungkin karena daerahnya yang lembab dan sangat baik untuk membudidayakan jamur, maka di setiap menu yang saya lihat di warung makan di sini ada jamurnya. Nasi goreng jamur, nasi soto jamur, atau mie rebus jamur. Akhirnya, saya memesan nasi goreng jamur dan segelas teh manis hangat. Cukup dengan 14.000 perut saya sudah kenyang dan badan sedikit hangat.
Saya memilih melakukan rute perjalanan dari Candi Hindu (Candi Srikandi, Candi Arjuna) – Candi Gatot Kaca – Museum – Kawah Sikidang – Candi Bima – Dieng Plateau Theater – Telaga Warna. Sayangnya, dua tempat terakhir saya batalkan karena terjebak hujan di Kawah Sikidang. Untuk semua objek pariwisata, cukup mengeluarkan uang 31.000 rupiah saja. 10.000 untuk masuk dari Candi Hindu, 5.000 masuk Museum, 10.000 untuk masuk Kawah Sikidang dan 6.000 untuk masuk Telaga Warna.
Kemudian saya ingin melanjutkan perjalanan ke Dieng II. Tidak banyak yang bisa saya ceritakan di Dieng II. Hanya melihat beberapa kawah yang menurut saya biasa saja. Cukup dengan komentar “Oh..” lalu saya pergi ke kawah berikutnya.
Sebelumnya, saya jelaskan sedikit fakta tentang Dieng. Dieng adalah kawasan dataran tinggi di Jawa Tengah. Daerah ini kira- kira 2000 m di atas permukaan laut (dpl). Seperti daerah dataran tinggi lainnya di Indonesia, tempat ini cocok untuk bercocok tanam. Sebagian besar masyaratakatnya sehemat penglihatan saya adalah petani. Sebenarnya, objek wisata di sini bisa dibilang biasa saja, kecuali golden sunrisenya. Kebanyakan orang yang saya tanya, mereka berpergian ke sini tujuan utama adalah melihat Golden Sunrise. Kecuali Golden Sunrise, semua objek wisatanya bisa dihabiskan dalam satu hari saja. Jarak antara satu objek wisata ke objek wisata lainnya tidak terlalu jauh.
Selain itu, bagi teman- teman yang ingin memanjakan mata dengan keindahan alam dan sejuknya udara pegunungan sangat saya sarankan menghabiskan waktunya di sini. Atau sekedar untuk membaca buku dari teras atas penginapan sambil meneyeruput kopi panas.
Setelah mengistirahatkan badan sejenak dan mandi dengan air panas, saya mengisi perut dulu di warung makan di sebelah penginapan. Saat itu, sekitar pukul 10 pagi dan warung makan tidak begitu ramai. Hanya ada seorang bule dan kekasihnya (orang Indonesia) sedang makan nasi goreng khas Dieng. Saya-pun jadi teringat dengan topik di forum backpacker yang telah saya baca sebelumnya.
Selain mie ongklok dan purwaceng, nasi goreng dieng juga masuk salah satu makanan yang harus dicoba. Mungkin karena daerahnya yang lembab dan sangat baik untuk membudidayakan jamur, maka di setiap menu yang saya lihat di warung makan di sini ada jamurnya. Nasi goreng jamur, nasi soto jamur, atau mie rebus jamur. Akhirnya, saya memesan nasi goreng jamur dan segelas teh manis hangat. Cukup dengan 14.000 perut saya sudah kenyang dan badan sedikit hangat.
Nasi Goreng Dieng |
Sehabis makan, saya mencoba untuk berbaur dengan masyarakat sekitar. Dimulai dengan bertanya ke si Ibu warung tentang bagaimana cara untuk menjelajah objek wisata Dieng. Awalnya beliau menyarankan untuk naik motor saja dengan menyewa seharga 50.000 Tapi saya tidak langsung tertarik karena emang dari awal ingin menikmati Dieng dengan berjalan kaki. Ada kenikmatan sendiri berjalan kaki di daerah ini. Sejuk, pemandangan alam yang bagus, sayang saja jika dilewatkan begitu cepat dengan motor.
Setelah selesai membayar makanan, saya kembali dulu ke penginapan mengambil kamera dan peralatan lainnya. Kebetulan ketemu Mas Didik, Mas Didik ini merupakan petugas penginapan. Saya menyapa “Pagi Mas, mau keluar dulu ya liat- liat sekitar”. Selagi membalas sapaan saya, Mas Didik yang sedang duduk di kursi ruangan depan mengeluarkan secarik kertas yang ternyata sebuah peta sederhana daerah Dieng. Tanpa saya minta, dia menjelaskan tempat- tempat wisata di sini sekaligus harga karcis. Dia menyarankan saya agar jalan kaki saja untuk menikmati Dieng karena memang rutenya pendek dan lebih enak untuk dilalui dengan berjalan kaki.
Setelah selesai membayar makanan, saya kembali dulu ke penginapan mengambil kamera dan peralatan lainnya. Kebetulan ketemu Mas Didik, Mas Didik ini merupakan petugas penginapan. Saya menyapa “Pagi Mas, mau keluar dulu ya liat- liat sekitar”. Selagi membalas sapaan saya, Mas Didik yang sedang duduk di kursi ruangan depan mengeluarkan secarik kertas yang ternyata sebuah peta sederhana daerah Dieng. Tanpa saya minta, dia menjelaskan tempat- tempat wisata di sini sekaligus harga karcis. Dia menyarankan saya agar jalan kaki saja untuk menikmati Dieng karena memang rutenya pendek dan lebih enak untuk dilalui dengan berjalan kaki.
Peta Dieng |
Tidak banyak pengunjung pada hari itu. Hanya ada beberapa pengunjung lokal yang didominasi oleh anak sekolah yang sedang melakukan tour wisata dan beberapa orang India yang saat itu ditemani seorang guide yang sedang menunggu mereka selesai menikmati mie rebus. Sambil tersenyum ke penduduk lokal yang ramah, saya memasuki kawasan candi. Terlihat ada beberapa anak kecil penduduk lokal sedang bermain bola di sekitar komplek candi. Sambil berharap ada anak yang berambut gimbal. Sayang sekali, saya tidak menemukan satupun anak berambut gimbal dari sekumpulan bocah – bocah tersebut. Salah satu keunikan dari Dieng adalah anak rambut gimbal atau penduduk sana lebih sering menyebutnya dengan anak rambut gembel. Makanya saya ingin sekali bisa berfoto dengan anak- anak unik ini.
Seperti yang sudah saya duga sebelumnya, tidak banyak yang bisa dilakukan di objek wisata Dieng I selain mengabadikan momen. Setelah saya rasa cukup puas melihat-lihat dan memoto Candi Arjuna dan Srikandi, saya beranjak ke atas menuju Candi Gatotkaca. Dari sini, saya dapat melihat dengan jelas komplek Candi Hindu karena tempatnya yang lebih tinggi. Setelah itu, saya pergi ke seberang jalan memasuki Museum Kailasa.
Setelah membayar karcis seharga 5.000. Petugas museum menyarankan saya untuk langsung masuk ke dalam karena baru saja film pendek mengenai sejarah Dieng diputar. Saya-pun meng-iya-kan sarannya dan langsung diantar ke dalam museum. Cuma ada beberapa orang saja di dalam bioskop mini ini. Kalau tidak salah 5 orang. Dua orang ibu- ibu dan 3 orang anak kecil. Dari film pendek inilah saya tahu bahwa ternyata dulunya ada 18 candi di daerah ini. Namun sekarang hanya tersisa 8 candi. Sayang sekali, ujar saya dalam hati. Begitu film selesai petugas museum telah menunggu di pintu keluar dan siap menemani saya dan keluarga kecil tadi melihat- lihat barang- barang sejarah yang ada di museum.
Selesai keliling ke setiap sudut museum dan bersiap keluar, mata saya tertuju pada bagian atas museum. Setelah bertanya ke petugas, ternyata bagian atas museum itu dulunya adalah cafe, tapi sekarang sudah tidak berfungsi lagi. Penasaran, saya naik ke bagian atas. Ada semacam tempat istirahat di sana, berbentuk pondok- pondok kecil dengan pemandangan yang indah. Cuaca yang sejuk, kicauan burung yang sangat jelas terdengar di telinga dan semilir angin membuat suasana di sini begitu damai. Setelah selesai mengabadikan tempat ini sayapun beranjak turun dan melanjutkan jalan kaki menuju Candi Bima dan Kawah Sikidan.
Sambil terus berjalan dan melihat- lihat bekas gedung itu, tidak lama saya sudah sampai di depan Candi Bima. Tapi sayang, candinya sedang di pugar dan pengunjung tidak diperbolehkan masuk. Sekitar dua tahun yang lalu ketika ke Candi Borobudur, saya melihat batu- batu candi di semprot cairan oleh petugas candi. Katanya untuk mempertahankan coraknya. Dan semenjak itu dalam benak saya kegiatan itu dinamakan pemugaran. Ketika saya melihat papan pengumuman di bahwa Candi Bima sedang dilakukan pemugaran, saya heran. “Kok candinya tidak ada? Bukannya pemugaran itu candinya disemprot dengan cairan gitu ya?”, pikir saya. Masih dengan rasa penasaran dan bertanya- tanya sendiri, akhirnya saya melanjutkan perjalanan ke Kawah Sikidang. Dengan tetap berjalan kaki sekitar 10 – 15 menit dan membayar karcis seharga 10.000 sampai juga di kawah ini.
Kemudian destinasi saya selanjutnya adalah melihat Golden Sunrise dari atas Bukit Sikunir. Waktu terus berjalan dan menunjukkan sekitar pukul 04.30. Beruntungnya karena saya tidak langsung dihadapkan dengan mendaki bukit, tetapi melewati kebun- kebun kentang sebelum benar- benar menanjak ke atas bukit. Tetap saja, perjalanan menuju kaki bukit melewati kebun- kebun kentang ini tanpa bantuan penerangan dan jalanan yang sedikit menanjak. Saya pacu langkah saya agar dapat menyusul rombongan itu sebelum mereka naik ke atas bukit. Nafas tersengal-sengal padahal belum mendaki bukit. Udara dingin dan berada jauh di atas permukaan laut membuat saya cepat lelah. Alhamdulillah, saya bisa menyusul mereka tepat ketika mereka memulai untuk mendaki bukit. Sebenarnya bukit ini tidaklah begitu tinggi. Cukup dengan 20 – 30 menit mendakinya.
Komplek Candi Hidu – Dieng |
Selesai keliling ke setiap sudut museum dan bersiap keluar, mata saya tertuju pada bagian atas museum. Setelah bertanya ke petugas, ternyata bagian atas museum itu dulunya adalah cafe, tapi sekarang sudah tidak berfungsi lagi. Penasaran, saya naik ke bagian atas. Ada semacam tempat istirahat di sana, berbentuk pondok- pondok kecil dengan pemandangan yang indah. Cuaca yang sejuk, kicauan burung yang sangat jelas terdengar di telinga dan semilir angin membuat suasana di sini begitu damai. Setelah selesai mengabadikan tempat ini sayapun beranjak turun dan melanjutkan jalan kaki menuju Candi Bima dan Kawah Sikidan.
Pemadangan dari atas Museum Kailasa Dieng |
Candi Bima – Dieng
|
Kawah Sikidang – Dieng |
Begitu sampai di puncak Bukit, Golden Sunrise masih belum muncul. Saya puaskan mata saya yang kelaparan memandangi keindahan alam ini. Masih jelas saya lihat lampu- lampu pemukiman penduduk dari atas sini. Waktu yang pas untuk melihat Golden Sunrise, gumam saya. Sudah bisa saya bayangkan bagaimana indahnya melihat matahari muncul dari atas sini. Bagaimana indahnya warna kuning keemasan cahaya matahari pagi yang akan muncul tepat di hadapan saya, menyinari wajah saya yang kelelahan untuk mencapai puncak ini.
Bukit Sikunir Sebelum dan Sesudah Kabut |
Kemudian, pada siang hari, tepat pukul dua siang kita pamit dari penginapan Bu Jono. Sengaja saya berangkat lebih awal karena ingin mencoba mie ongklok. Dari informasi Mas Didik, ada mie ongklok yang terkenal enak di Wonosobo. Namanya mie ongklok Longkrang. Dari pertigaan Dieng kita naik Mobil Elf ke Wonosobo, sama dengan bus yang saya naiki ketika dari Wonosobo ke Dieng. Letak mie ongklok Longkrang ini tidaklah sulit untuk dicari. Tidak jauh dari alun- alun Wonosobo. Cara amannya sih cukup bilang ke kernet agar diturunkan di depan mie ongklok Longkrang karena rute mobil ini melewati tempat ini. Berdua Jan, saya memesan 2 mie ongklok dan seporsi sate. Biasanya memang, mie ongklok ini disajikan dengan sate agar lebih enak. Kita menghabiskan 34.000 saja untuk 2 mangkok mie onglok + seporsi sate + jeruk hangat + teh manis hangat dan 5 goreng tempe yang enak sekali. Selesai makan, kami memilih untuk jalan kaki dari sini ke alun- alun Wonosobo untuk membeli oleh- oleh.
Pukul 16.30 kami sampai di Terminal. Tidak banyak pikir waktu itu, kami memutuskan untuk kembali menaikin Bus Malino. Karena unutuk jurusan Terminal Lebak Bulus sudah penuh kami memilih untuk turun di Terminal Pulogadung saja. Kali ini, tiketnya pas 75.000 tanpa ada tambahan. Pukul 17.30 bus berangkat dari Terminal. Kali ini saya tidak lagi ketinggalan bus ketika berhenti untuk makan malam. Tidak banyak cerita dengan Jan di perjalanan kali ini, karena sama- sama kecapean dan memilih untuk tidur. Bahkan Jan memilih tidur daripada makan malam karena semakin capeknya. Untungnya perjalanan berjalan lancar, tidak ada macet. Tepat pukul lima pagi kami sampai di Terminal Pulogadung. Jan memilih menaiki taksi untuk melanjutkan perjalanan ke daerah Karet, Sudirman. Sedangkan saya memilih untuk sholat terlebih dahulu sebelum akhirnya menuju Depok.
Perjalanan berakhir, tapi cerita ini tak akan pernah berakhir. Perjalanan ini yang saya cari selama ini. Dan inilah mengapa saya lebih memilih untuk berjalan sendiri daripada rombongan. Karena lebih bebas untuk mengikuti kemana langkah kaki saya mau menuju kemana dan lebih leluasa untuk berbaur dengan masyarakat sekitar. Menambah teman dan saudara, sekaligus menambah wawasan dan rasa cinta tanah air. Semoga saya masih kuat untuk menjelajah negeri ini. Cinta Indonesia!
(Artikel ini sudah mendapat persetujuan penyebaran tulisan di situs GLII dari penulis aslinya, Jadhep)