Tambur menggema seiring wangi dupa, membuka sajian peradaban sang penghijrah asal negeri China. Tarian persembahan para dewa menyertai ke-khasan kota kecil yang terletak di tepian Selat Malaka itu. Rangkaian kertas membentuk kapal kayu (tongkang) kembali membuka lembaran sejarah dibangunnya kota Bagan Siapi-api, Kepulauan Riau, Indonesia.
PELAUT - Sepulang dari melaut kapal nelayan berlabuh di kota Bagan Siapi-api satu hari sebelum perayaan bakar tongkang dimulai. FOTO: SUTANTA ADITYA | PIXELET
Kota Bagan Siapi-api terbentuk dari niat sekelompok orang dari Provinsi Fujian, China, bermarga Ang yang ingin mengubah nasib di negeri orang sekitar tahun 1820-an. Untuk mewujudkan niatnya, kelompok ini menyeberangi lautan untuk mencari daratan baru dengan bermodalkan kapal kayu sederhana yang disebut wangkang atau tongkang.
TONGKANG - Pernak-pernik kapal tongkang yang akan dipersembahkan dalam acara ritual bakar tongkang tampak siluet dari balik sinar matahari yang terik. Sepulang dari melaut kapal nelayan berlabuh di kota Bagan Siapi-api satu hari seelum perayaan bakar tongkang dimulai. FOTO: SUTANTA ADITYA | PIXELET
Saat mereka terkatung-katung di lautan, kelompok Ang berdoa kepada Dewa Kie Ong Ya (Dewa Laut). Dimana patung Dewa laut tersebut diletakkan di dalam wangkang sebagai penunjuk arah menuju daratan. Dalam sebuah keheningan malam, sekelompok pencari daratan itu melihat cahaya samar-samar yang dipastikan dari sebuah daratan. Kelompok Ang pun menuju ke sumber cahaya tersebut dan mendaratkan kakinya disebuah daratan di pinggir Selat Malaka.
LAMPION - Seorang anak turut membakar lampion untuk diterbangkan pada malam perayaan 'Bakar Tongkang' di Kota Bagan Siapi-api, Kepulauan Riau. FOTO: SUTANTA ADITYA | PIXELET
RITUAL BAKAR TONGKANG
Acara ritual bakar tongkang atau pemujaan untuk memperingati hari lahir Dewa Kie Ong Ya mulai dikenal sejak tahun 1920-an atau sekitar 100 tahun setelah pendaratan pertama kelompok marga Ang mendaratkan kakinya di Bagan Siapi-api.
Saat itu pelabuhan Bagan Siapi-api merupakan pelabuhan yang tersohor di Selat Malaka. Sedangkan acara ritual bakar tongkang dituangkan sebagai wujud rasa terimakasih perantau bermarga Ang itu kepada Dewa Kie Ong Ya yang telah memberikan rezeki yang berlimpah dengan menunjukkan arah.
DEWA LAUT - Bakar Tongkang bagi warga Tiong Hoa merupakan rasa syukur kepada dewa laut yang telah memberi arah dan rezeki dalam kehidupan. FOTO: SUTANTA ADITYA | PIXELET
MENUAI PROTES
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, acara bakar tongkang sempat menghilang. Kota tersebut juga terisolasi dari dunia luar karena hanya memiliki akses jalan melalui laut. Kota Bagan Siapi-api dapat dilalui lewat jalur darat sekitar delapan tahun belakangan.
Sehingga tak heran jika dalam arsitektur kota Bagan Saiapi-api kerap dijumpai keunikan morfologi bangunan berupa rumah toko (ruko) deret khas daerah pelantar. Namun tetap saja didominasi oleh bahan kayu sebagai cirri khas arsitektur Melayu.
Memasuki era Presiden Abdurrahman Wahid, tradisi China tersebut yaitu bakar tongkang kembali diselenggarakan setiap tahun. Sedangkan biayanya ditaksir menelan anggaran Miliaran rupiah.
UANG KERTAS - Luapan seorang warga bergembira ketika upacara ritual bakar tongkang akan dimulai, sementara warga lainnya membakar dupa uang kertas untuk persembahan kepada dewa. FOTO: SUTANTA ADITYA | PIXELET
TARI PERSEMBAHAN - Seorang anak menari mengiringi suara tambur sebelum ritual Bakar Tongkang di mulai di Vihara kota Bagan Siapi-api, Kepualauan Riau, Indonesia. FOTO: SUTANTA ADITYA | PIXELET
PEMANDU ADAT - Tetua adat yang merupakan mediasi komunikasi kepada dewa digiring menggunakan kereta angkut. FOTO: SUTANTA ADITYA | PIXELET
LEBIH MERIAH DARI IMLEK
Bagi etnis Tiong Hoa Bagan Siapi-api sendiri, ritual bakar tongkang dinilai lebih semarak dibandingkan merayakan Tahun Baru Imlek. Saat Imlek banyak perantau yang tidak pulang, tetapi pada saat bakar tongkang keinginan mudik jauh lebih besar. Jumlah pengunjung yang hadir pada puncak bakar tongkang diperkirakan mencapai 40.000 orang dari berbagai negara di Asia yaitu China, Thailand, bahkan Amerika Serikat.
BAKAR TONGKANG - Ribuan dupa warga Tiong Hoa menyertai api yang membakar tongkang dalam puncak acara ritual Bakar Tongkang, di Kota Bagan Siapi-api, Kepulauan Riau, Indoensia, 26 Juni 2010. FOTO: SUTANTA ADITYA | PIXELET
Hingga akhirnya, para perantau dadakan itu kembali ke kota tempat mereka semula untuk mengadu peruntungannya saat ini. Tentunya berbekal dengan arah yang lebih matang, arah dimana keikhlasan menjadi landasan dalam mengadu nasib yang telah ditentukan oleh Tuhan yang maha adil. Mungkin lewat tangan-tangan kecilnya, lewat aku, kamu, dia atau siapa saja.
Tentu sangatlah relevan ketika pemerintah menerima dengan tangan terbuka bahwa keberagaman budaya mampu mengharumkan nama bangsa. Menjadikan Indonesia negara multikultur dengan menoreh sejarah dari perjalanan budaya yang hijrah lewat Tongkang.
0 komentar:
Posting Komentar